Empathy
Seperti telah diungkapkan di atas salah satu upaya untuk mengatasi heterophily adalah dengan berusaha menumbuhkan emphaty. Tetapi dalam hal ini menumbuhkan emphaty dalam diri komunikator atau change agent mungkin akan mudah, tetapi bagi komunikan dalam menumbuhkan emphaty ini tidaklah mudah memerlukan upaya pendidikan komprehensif yang memakan waktu yang cukup lama.
Everett M. Rogers & Dilip K. Bhowmik mendefinisikan emphaty sebagai kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain.
Menurut Sigmund Freud bahwa : “Empathy dianggap sebagai memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita”.
Kemudian menurut Stotland Dunn, Zender, dan Natsoulas menyatakan bahwa : “Emphaty sebagai keadaan ketika pengamat bereaksi secara emosional karena ia menanggapi orang lain mengalami atau siap mengalami suatu emosi”.
Sedangkan menurut Milton J. Bennett menyatakan bahwa : “imaginative intellectual and emotional participation in another person’s experience” (ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain).
Menurut Jalaludin Rakhmat bahwa :
“Pengertiam empati dapat dikontraskan dengan pengertiam simpati. Dalam simpati kita menempatkan diri kita secara imajinatif pada posisi orang lain. Bila saya melihat anda menangis karena kehilangan kekasih anda, saya mencoba membayangkan perasaan saya bila saya juga kehilangan kekasih. Saya beranggapan anda pun mempunyai perasaan seperti perasaan saya. Dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang lain; kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain. Berempati artinya membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. Dengan empati kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti orang lain merasakannya.” (1985 : 166).
Apabila komunikator atau komunikan atau pun kedua-duanya (dalam situasi heterophily) mempunyai kemampuan untuk melakukan emphaty satu sama lain maka kemungkinan besar akan dapat terdapat komunikasi yang efektif.
Bagi seorang change agent atau seorang komunikator jika berusaha sedapat mungkin mengetahui bagaimana perasaan orang lain dalam situasi dan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain itu, maka kemungkinan sekali dapat menyampaikan pesan yang tepat kepada komunikan.
Jadi dengan demikian jika seorang komunikator mempunyai emphaty yang mendalam dengan komunikan yang heterophilous, maka komunikator dan komunikan benar-benar berada dalam situasi homophilous dalam pengertian sosio-psikologis.
Oleh karena itu maka pembahasan terdahulu mengenai heterophily dan komunikasi yang tidak efektif menghendaki modifikasi sebagai berikut : komunikasi heterophilous kurang efektif dibandingkan dengan komunikasi homophilous, kecuali kalau komunikator mempunyai derajat emphaty yang tinggi dengan komunikan.
Komunikan akan lebih mudah menerima pesan komunikator bila ia memandang ada banyak kesamaan diantara keduanya. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian Everett M. Rogers yang selanjutnya telah membedakan antara kondisi homophily dan heterophily. Pada kondisi homophily antara komunikator dan komunikan merasakan adanya kesamaan dalam status sosial ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan. Pada kondisi heterophily terdapat perbedaan status sosial ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan antara komunikator dan komunikan . Komunikasi akan lebih efektif pada kondisi homophily dari pada kondisi heterophily.
Penelitian Rogers tersebut berasal dari penelitian sosiologis yang dilakukan Stotland Dunn, Zender, dan Natsoulas yang semuanya berkesimpulan bahwa orang mudah berempati dan merasakan perasaan orang lain yang dipandangnya sama dengan mereka. Juga menunjukkan bahwa kesamaan antara komunikator dan komunikan memudahkan terjadinya perubahan pendapat.
Oleh karena itu dalam Komunikasi, komunikator yang ingin mempengaruhi orang lain sebaiknya memulai dengan menegaskan kesamaan antara dirinya dengan komunikan. Upaya untuk menegaskan kesamaan antara komunikator dan komunikan ini oleh Kenneth Burke disebut sebagai “strategy of identification”, sedangkan Herbert W. Simons menyebutnya sebagai “establishing common grounds”. Upaya mempersamakan antara komunikator dan komunikan dengan menegaskan persamaan dalam kepercayaan, sikap, maksud, dan nilai-nilai sehubungan dengan suatu persoalan. Hal ini oleh Simons disebut sebagai kesamaan disposisional (dispositional similarity).
Misalnya seorang PLKB supaya upaya memasyarakatkan Keluarga Berencana pada kelompok masyarakat desa yang sangat kental nilai-nilai tradisionalnya maka dia dapat memulai dengan menegaskan bahwa ia, seperti pendengar, mengharapkan kesejahteraan keluarga, masa depan yang lebih baik, dan dapat menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang pendidikan tertinggi. Kemudian apabila berhadapan dengan kelompok (aliran) agama tertentu maka ia menyatakan sama aliran agamanya sama dengan pendengar. Dalam hal ini petugas PLKB tersebut menggunakan kesamaan keanggotaan kelompok (membership group similarity).
Komunikator yang dipersepsi memiliki kesamaan dengan komunikan cenderung dapat berkomunikasi lebih efektif. Hal ini alasannya menurut Herbert W. Simons karena empat faktor, yaitu :
Kesamaan mempermudah proses penyandian (decoding), yakni menterjemahkan lambang-lambang yang diterima menjadi gagasan-gagasan. Misal bila seorang sarjana administrasi melakukan Komunikasi Interpersonal pada sarjana administrasi lainnya maka dengan mudah menangkap arti dari kata-kata dan kalimat yang disampaikan. Tetapi apabila seorang dokter mengadakan Komunikasi Interpersonal pada sarjana administrasi tentu banyak kata-kata dan kalimat yang tidak dimengerti. Rogers dan Bhowmik menyatakan bahwa : “interaksi heterophilious (diantara pihak-pihak yang berbeda) cenderung memerlukan usaha yang lebih berat, menimbulkan distorsi .pesan, penyampaian yang terhambat, dan pembatasan pada saluran komunikasi).
Kesamaan membantu membangun premis yang sama untuk mempermudah proses deduktif. Dalam hal ini berarti bila kesamaan disposisional relevan dengan topik persuasi, maka komunikan akan terpengaruh oleh komunikator.
Kesamaan menyebabkan komunikan tertarik pada komunikator. Kebanyakan orang cenderung menyukai orang-orang yang memiliki kesamaan disposisional dengan orang tersebut tadi, Sehingga hal ini kalau dalam proses Komunikasi Interpersonal komunikan akan tertarik pada komunikator dan komunikan tersebut cenderung menerima gagasan-gagasan komunikator.
Kesamaan menumbuhkan rasa hormat dan percaya pada komunikator. Walau dalam hal ini belum dibuktikan secara meyakinkan dalam penelitian, Simons hanya menyatakan ada hubungan positif antara kesamaan dengan rasa percaya dan hormat, tetapi hubungannya lemah. Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Elaine, Walster, Darcy Abrams dan Elliott Aronson membuktikan bahwa : “komunikator yang tidak menarik, tidak bermoral, dan tidak memiliki keahlian masih dapat melakukan komunikasi yang efektif, bila .......”. Maksudnya bila orang yang tidak menarik ini mengemukakan argumen yang bertentangan dengan kepentingan dirinya.
Teori Paul Lazarsfeild
Menurut Paul Lazarsfeild bahwa : “homophily dapat merupakan hasil dari interaksi atau merupakan dasar bagi pemilihan untuk berinteraksi”.
Lazarsfeild dan Merton telah mengadakan penelitian mengenai pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 1940. Dari hasil penelitian itu disimpulkan bahwa : “perubahan dalam tujuan memilih telah mempertinggi homoginitas kelompok ... Mayoritas pemilih yang sama sekali berubah ternyata telah berubah menuju arah pilihan kelompok sosial mereka”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar